LAPO NDELOK - PODCAST
Podcast by LAPO NDELOK
Lapo Ndelok podcast akan menyajikan obrolan tentang cerita-cerita misteri, legenda, budaya, sejarah dan "sesuatu" yang hanya ada di nusantara bersama ...
Aloita 7 vrk maksuton tilaus
Kokeilun jälkeen vain 7,99 € / kuukausi.Peru milloin tahansa.
Kaikki jaksot
37 jaksotPada zaman dahulu di daaerah banten, terdapat Kesultanan yang bernama Kesultanan Kartasura. Pada saat itu kesultanan sedang dilanda kesedihan yang mendalam, dikarenakan permaisuri mengalami penyakit tercinta mengalami penyakit keras. Rakyat mulai merasakan kesedihan yang mendalam. Hari demi hari dilalui permaisuri dengan penderitaan, tubuhnya seperti tulang dibalut kulit semata. Roda pemerintahanpun mulai berjalan tidak sebagaimana mestinya. Tak henti-hentinya pangeran Kartasura mendatangkan tabib untuk menyembuhkan sang permaisuri, namun tidak ada satupun yang berhasil. Sampai suatu ketika penasehat kerajaan menyarankan pangeran untuk bertapa di tempat sepi untuk memohon petunjuk sanga maha kuasa. Tak berapa lama kemudian , pangeran mengikuti petunjuk sang penasehat. Beliau mencari tempat sepi. Setelah menemukan tempat yang pas, diapun melaksanakan semedhinya. Ia berhasil melewati semua godaan-godaan yang menghampirinya. Sampai suaatu ketika terdengarlah suara gaib di telinga pangeran Kartasura. “Hentikanlah semedhi, dan ambilah bunga karang di Pantai Selatan, dengan bunga itulah permaisuri dapat disembuhkan.” Kemudian pangeran Kartasura segera pulang dan menanyakan suara gaib itu pada penasehatnnya. “Pantai Selatan amat luas pangeran, tapi hamba yakin yang dimaksudkan suara tersebut pasti gua karang yang didalamnnya banyak ditumbuhi bunga karang”.
Pada zaman dahulu kala. Terdapat sebuah Kerajaan yang di pimpin oleh Raja yang sangat bijaksana dan adil. Raja tersebut mempunyai seorang Putra yang sangat tampan dan gagah, yang bernama Raden Banterang. Raden Banterang sangat gemar berburu. Suatu hari, Raden Banterang pergi berburu kedalam hutan. Ia di temani dengan Pengawal kerajaan. Di tengah perjalanan. Ia melihat seekor Kijang melintas di depannya. Ia pun segera mengejar Kijang tersebut hingga masuk ke dalam hutan belantara. Ia pun terpisah dari rombongan Pengawalnya tersebut. Raden Banterang terus mengejar KIjang tersebut. Ia semakin jauh masuk kedalam hutan. Ia pun tiba di sebuah sungai yang sangat jernih. Karena kelelahan mengejar Kijang, ia pun mendekati sungai tersebut dan meminum air jernih itu. Di saat ia asik meminum air. Tiba-tiba, ia sangat terkejut karena kedatang seorang gadis yang sangat cantik. Raden Banterang kebingungan, karena ia takut gadis cantik tersebut adalah penunggu hutan ini. Namun, ia memberanikan diri untuk mendekati gadis cantik tersebut.
Pada zaman dahulu kala, di lereng Gunung Lawu bagian timur, hiduplah sepasang suami istri bernama Kiai Pasir dan Nyai Pasir. Mereka tinggal di sebuah pondok kecil terbuat dari anyaman bambu beratapkan dedaunan. Mereka hanya tinggal berdua karena selama bertahun-tahun menikah tidak dikaruniai seorang anak pun. Tempat tinggal mereka juga sangat terpencil, sangat jauh dari permukiman warga. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, mereka menanam umbi-umbian di sekitar pondok. Sayuran dan buah-buahan didapat dengan mudah di hutan sekitar. Kadang-kadang, Kiai Pasir berburu binatang untuk lauk. Daging binatang dikeringkan sehingga dapat disimpan untuk waktu lama. Kadang-kadang saja, Kiai Pasir pergi ke pasar desa yang terdekat untuk menukar barang yang tidak ada di lereng gunung, seperti garam dan beras. Barang-barang dari gunung yang laku ditukar dengan bahan makanan adalah kayu bakar. Untuk itu, Kiai Pasir rajin mengumpulkan kayu bakar, baik yang berupa ranting-ranting maupun kayu belah. Pada suatu hari, Kiai Pasir pergi ke hutan untuk menebang pohon. Batangnya akan digunakan untuk mengganti tiang pondoknya yang sudah dimakan rayap, sedangkan rantingrantingnya akan dikeringkan untuk kayu bakar. Pagi-pagi sekali setelah menyantap ubi bakar, ia pamit pada istrinya hendak ke hutan yang agak jauh dari pondoknya. Ia membawa kapak dan air minum di dalam wadah bambu. lstrinya melepas kepergian Kiai Pasir di depan pondok dengan pesan untuk pulang sebelum hari gelap. Tiba di tengah hutan, Kiai Pasir mencari-cari pohon yang cukup besar dan berbatang lurus supaya kuat dijadikan tiang. Pohon-pohon di hutan itu besar-besar ukurannya. Padahal, Kiai Pasir hendak menebang yang berukuran sedang supaya ia kuat memikulnya pulang ke pondok. Tidak lama kemudian, ia pun menemukan pohon yang sesuai dengan keinginannya. Karena semak belukar di sekitar pohon itu sangat lebat, Kiai Pasir ptm terlebih dahulu membersihkannya agar ia mudah mengayunkan kapaknya ke pangkal pohon. Saat ia sedang menyibak dan membersihkan semak itu, dilihatnya ada sebutir telur berukuran cukup besar tergeletak di atas tumpukan dedaunan seperti sarang. Kiai Pasir teringat istrinya yang tentu akan sangat senang mendapat telur untuk santapan. Apalagi, mereka jarang sekali dapat makan telur. Tanpa berpikir lagi, diambilnya telur itu kemudian dimasukan ke dalam wadah bambu yang sudah kosong.
Alkisah pada masa silam di Papua, hiduplah seorang laki laki bernama Woiram dan istrinya Bonadebu. Mereka penghuni kampung Merem. Woiram tak tinggal serumah dengan istrinya. Hal itu dilakukannya karena tujuan Woiram menikahi Bonadebu hanyalah untuk menjaga harga dirinya sebagai seorang lelaki. Woiram sama sekali tak ingin memiliki anak dari perkawinannya. Rumah tangga yang dilalui Woiram dan Bonadebu yang semula harmonis, lama lama terasa hambar. Sebagai seorang wanita normal, tentu saja Bonadebu ingin memiliki anak. Hari demi hari berlalu, keinginan Bonadebu tak ditanggapi sedikitpun oleh Woiram. Ia tak tergugah sama sekali untuk memenuhi keinginan istrinya. Kejenuhan melakukan kegiatan sehari hari membuat Woiram merasa lelah. Ia ingin sekali mencari suasana baru. Tak disangka keinginan memiliki seorang anak mulai terbersit di hati Woiram. Keinginan itu makin lama makin kuat. Namun demikian Woiram malu untuk mengutarakan keinginannya itu pada Bonadebu. Setiap malam ia hanya berdoa agar Dewa berkenan mengabulkan keinginannya.
Dahulu kala, hiduplah seorang ulama agama Islam yang berasal dari Negeri Palembang, pemuka agam itu bernama Hasan Tanduk Alam di masyarakat dikenal dengan nama Tanduk Alam. Dia berkelana ke Negeri Banggai dengan tujuan berdagang serta menyebarkan agama Islam. Namun sebelum tiba di Negeri Banggai, ia menetap di Tanah Sea-Sea dan bekerja sebagai pengrajin barnag-barang dari emas serta membuat berbagai macam perhiasan. Pada awalnya dia menjual hasil kerajinannya kepada penduduk desa sambil mengajarkan agama Islam, oleh karena itdu ia tidak hanya dikenal sebagai pengrajin emas, namun juga sebagai ulama. Tanduk Alam tidak hanya dikenal di kalangan penduduk, tetapi juga di kalangan istana Negeri Banggai yang dipimpin oleh Raja Adi Cokro. Suatu hari, kalangan istana dan seluruh rakyat Negeri Banggai bersedih, karena tiba-tiba Putri Raja Adi Cokro tiba-tiba hilang. Sang Raja pun segera memerintahkan kepada seluruh tentara dan rakyat untuk mencari putrinya.
Saatavilla kaikkialla
Kuuntele Podimoa puhelimella, tabletilla, tietokoneella tai autossa!
Kokonainen maailma kuunneltavaa viihdettä
Tuhansia äänikirjoja ja yksinoikeuspodcasteja
Ei mainoksia
Kuuntelemalla Podimon sisältöä et tuhlaa aikaa mainosten kuuntelemiseen.
Aloita 7 vrk maksuton tilaus
Kokeilun jälkeen vain 7,99 € / kuukausi.Peru milloin tahansa.
Podimon podcastit
Mainoksista vapaa
Muut kuin Podimon podcastit
Äänikirjat
20 tuntia / kk